Kala Orang Desa Memandang Orang Kota
Kehidupan desa mulai bergeliat di saat fajar terbit. Orang sibuk dengan ‘’gawenya’’ masing-masing. Para petani bergegas menyapa padi, bawang merah, bawah putih, dan aneka tanaman lain dengan senyum. Senda gurau pun mewarnai keceriaan mereka disaat saling bertemu sesama petani. Semangat menyatu dengan keindahan alam mendendangkan simfoninya. Tukang becak sudah pada mengayuh becaknya, Sementara tukang sayur sudah berangkat untuk mulai merajut hidupnya. Sangat romantis …
Bekerja bagi rakyat desa berarti menghidupkan dapur (ngepulke pawon). Penghasilan lima belas ribu rupiah tidak jadi masalah, asalkan hari ini bisa makan. Seperti kisah pak rudi, tetangga saya (di perkampungan kecil wilayah Kediri), seorang tukang becak yang beberapa hari lalu tanpa sengaja bertemu dan saya pun bertanya, “ kok sudah pulang pak ?, kan masih jam satu siang?’’ Pak rudi menjawab ‘’saya sudah dapat tarikan tadi pagi, sudah cukup buat makan keluarga dan beli pakan ayam, untuk besok di pikir aja besok''. Pak Rudi sebagaimana kebanyakan orang desa, bekerja demi sesuap nasi dan yang penting tidak kelaparan, tak lebih. Rasa syukur yang tinggi membuat kehidupan desa tetap selaras, bersahaja, dan teratur.
Hal serupa dijalani oleh Pak Yitno penjual sayur di desaku, yang beberapa hari lalu muncul lagi di depan rumahku, saya pun bertanya ”kok beberpa minggu ini nggak jualan pak?, Sambil senyum Pak Yit menjawab ”sudah bagi tempat mbak, Pak Idris sudah mangkal di sini sekarang. Aku bertanya lagi ”terus langganannya bagaimana pak?, kan sudah banyak langganan bapak di sini?’’, Lantas beliau berucap, ‘’Oalah mbak, rezeki sudah ada yang bagi’’. Dia sadar betul bahwa kerja bukan sebatas urusan duniawi. Lebih dari itu, bekerja juga mempertimbangan etika dan semangat kebersamaan untuk menikmati pemberian Tuhan.
Kisah ini kontras dengan kehidupan kota yang tampak sangat ribut, bergegas siapa yang cepat dia yang dapat. Sebuah persaingan yang tak mengenal lelah dan tak mengenal usai. Kompetisi yang kerapkali membuat orang mengabaikan etika dan spiritual. Semua dilakukan atas nama kekayaan dan gengsi. Tak bekerja maka tidak bisa kaya, dan tak punya harga diri. Kalau di desa, apapun yang ada di depan adalah pekerjaan. Di kota, pekerjaan harus lewat lowongan dan rebutan. Sadis …
Pekerjaan di kota tidak hanya untuk mengenyangkan perut saja, seperti cerita pak Rudi. Tapi pekerjaan di kota sebagai jembatan untuk melampiaskan nafsu materi, tidak hanya barang sandang dan pangan, tetapi juga barang-barang ‘’meluber’’ di perkotaan. Bagi orang kota, bekerja adalah untuk menjadi konsumen sejati. Dalam buku yang berjudul ‘’Saga No Cabai Bacan’’, seorang nenek desa di Jepang, ketika nenek ini sedang memotong sayuran yang tampak cacat, cucu itu bertanya: ‘’itu kan busuk nek, kenapa dimasak?, Nenek itu menjawab: kalau yang cacat dipotong hasilnya akan sama baiknya. Sekarang kita harus hidup miskin dari sekarang !. Karena bila sudah kaya kita jadi berplesir, jadi makan sushi, jadi menjahit kimono. Hidup jadi kelewat sibuk. Dan itulah yang terjadi pada manusia kota saat ini, sibuk dan rebut, serta prinsip bekerja itu menjadi kaya.
Kaya itu berarti bermateri. Kematerian di kota menampakkan wujud berupa barang-barang eletronik, hp, mobil, sepeda motor, dan benda-benda tekhnologi yang selalu meluncur di zaman ini. Hal ini pun diserukan oleh motivator saat ini, bahwa kaya berarti punya gedung megah, sekolah yang tinggi, dan berkendaraan yang serba canggih.
Tapi menilik kehidupan desa yang masih hidup di desaku, kaya berarti punya hewan ternak yang banyak, sawah yang luas, dan kebun yang sehat. Jika di kota, di depan rumah kota berjejer-jejer garasi untuk mobil, motor, sebagai lambag kejayaan. Tapi di desa, kandang-kandang ternak di belakang rumah merekalah yang menjadi lambang kemakmuran. Desa memang identik dengan hewan dan tumbuhan. Sehingga manusia, hewan, dan tumbuhan menyatu dalam panggung kehidupan yang melahirkan efek estetis, Berupa harmoni yang mengagumkan.
Jika di desa penggerak manusia untuk bekerja adalah hewan dan tumbuhan, menengok di kota pabrik dan toko lah yang dikejar-kejar oleh manusia kota. Mesin sudah siap membantu kerja mereka, mesin yang tanpa rasa inilah yang memacu produksi melimpah ruah, dan dikerjakan denga cepat dan prkatis. Semua itu berawal dari ideologi ‘’tahayul’’ bernama pembangunan.
Sementara zaman pun terus bergerak, Kebudayaan kota kini mulai menyapa desa. Media dan birokrasi rajin mengkontruksi orang-orang desa. Orang desa yang tidak bisa mengikuti langkah kota akan disebut orang udik, kampungan, yang tidak bisa mengikuti selera zaman. Pelan namun pasti, orang-orang desa mulai menyesuaikan diri dengan kebudayaan kota, mulai dari cara berfikir, bersikap, hingga bertindak. Kebersahajaan desa direcoki oleh hiruk pikuk pasar yang dibentuk oleh tangan-tangan yang sulit kita ketahui siapa mereka. Orang-orang desa mulai kehilangan kemampuan untuk melakukan resistensi kebudayaan yang telah lama menyatu dalam kehidupannya.
Kontributor : ARBAMEDIA TEAM - Kediri