Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inilah Cara Rasulullah Duduk dan Bersandar

image: ruwaqazhar.com





















Sebaik-baik ciptaan adalah manusia, bukan berarti yang lainnya tidak atau kurang baik. At-Tin ayat 4 “sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Sebaik-baiknya ciptaan manusia karena diciptakan paling akhir setelah diciptakannya waktu, ruang, tumbuhan, binatang, aksara atau bahasa, kemudian manusia (Karen Amstrong).

Manusia diberikan keistimewaan sebagai pemimpin di bumi (Al-Baqarah ayat 30). Hidup di alam dan untuk menjaga alam semesta. Manusia bisa berbuat apa saja dengan kecanggihan berfikirnya. Oleh karena itu diturunkan Al-Qur’an sebagai pedoman agar tidak berlebihan yang berpotensi merusak ekosistem. Kesederhanaan, termasuk jalan yang paling aman untuk manusia sebagaimana Muhammad sebagai Rasul terakhir yang kehebatan kepemimpinannya diakui seluruh dunia. Beliau hidup dalam kebersahajaan.

Kesederhanaannya tidaklah menurunkan derajatnya sebagai seorang Rasul, tidak pula mengundang peremehan. Qailah binti Makhramah berkata “ketika aku melihat Rasulullah saw Khusyuk dalam duduknya, aku pun gemetar ketakutan”, ketakutan yang dimaksud Qailah tidak seperti ketakutan manusia kepada pocong atau hantu. Ketakutan lebih bermakna kewibawaan. Ia Muhammad dengan segala kebijaksanaan yang dimilikinya, duduk bersahaja di atas tanah, kadangkala di atas tikar ataupun di atas permadani. Kemudian Qailah melanjutkan “Aku mendatangi Rasulullah SAW, dan beliau sedang duduk berjongkok”. Rasulullah SAW menyegarkan badannya dengan berjongkok, melemaskan segala otot-ototnya dengan sewaktu-waktu duduk berjongkok.    

Di sisi lain, Ada cerita rakyat yang memberikan peringatan untuk tidak duduk di atas bantal. Konon, duduk di atas bantal akan menimbulkan bisul. Demikian Rasulullah SAW diceritakan oleh ‘Adi Bin Hatim saat mendatangi kediaman Rasulullah. Rasulullah pun menyuruhnya masuk ke dalam rumahnya. Budaknya mengambil bantal yang biasa ia duduki. Dari keterangan ini, kita bisa memahami tata cara duduk Rasulullah dengan senantiasa menggunakan lapisan berupa bantal. Demikian itu mengisyaratkan betapa Rasulullah sangat menjaga kebersihan. Namun, di atas Rasulullah memperlihatkan akhlaknya yang sangat mulia kepada Adi sebagai seorang tamu. Rasulullah tidak duduk di atas bantal, Beliau meletakkan bantal tersebut seperti pembatas di antara dirinya dan ‘Adi. Kemudian Rasulullah duduk di atas tanah.

Rasulullah duduk sebagaimana layaknya kita duduk. Dengan pelapis bantal (khusus) yang beliau miliki. Namun orang tua kita dahulu lebih mendasari untuk tidak duduk di atas bantal, agar bantal tidak rusak. Bila rusak dibutuhkan biaya atau waktu untuk memperbaikinya. Rasulullah duduk dengan khusyuk sebagaimana yang diceritakan oleh Qailah, Kemudian tidak dijelaskan Rasulullah bersandar ke dinding  atau bersandar ke kursi. Rasulullah duduk: dengan Khusyuk. 

Sementara, Dengan bersandar ke kursi atau dinding kita akan segera dihinggapi rasa kemalasan, dan yang paling nikmat  adalah menghayal pada posisi bersandar. Tidak bersandar membawa suasana tubuh menjadi segar dengan menggerak-gerakkan segala persendian. Bila rasa capek lebih kuat ada baiknya bersegera istirahat dengan merebahkan badan atau tidur. Bukan berarti ada pelarangan untuk duduk bersandar.

Dalam agama Hindu seorang Rsi atau Biksu, untuk Khusyuk menghadap keharibaan Tuhan dilakukan dengan cara duduk bersila hingga berjam-jam lamanya. Di zaman modern ini kita kenal dengan yoga, juga duduk tanpa bersandar dengan gerakan-gerakan tertentu yang akan membuat tubuh jadi segar. Kondisi-kondisi demikian sangat berguna bagi kesehatan, sehingga kita dapat berfikir dengan tenang mendapatkan jawaban-jawaban dari setiap permasalahan. 

Sebagai seorang pemimpin yang berbudi luhur, tidaklah membuat Rasulullah menjadi seorang yang sombong dengan kedudukannya. ‘Adi berkata, “Aku telah mengetahui bahwa beliau bukanlah seorang Raja''. Terkadang beliau berbaring, terkadang pun beliau menumpuk kakinya satu sama lain. Apa yang disampaikan oleh ‘Adi, memberikan kita penjelasan jika Rasulullah adalah seorang manusia biasa, yang membutuhkan makan, minum, dan berbaring atau tidur. Cara Rasulullah menumpuk kaki, kita bisa imajinasikan  beliau duduk bersila, bisa juga dengan menjeluruskan kaki ke depan, secara bergantian kaki kanan menumpuk kaki kiri, dan kaki kiri menumpuk kaki kanan.   
      
Sementara itu untuk bersandar, Cara Rasulullah bersandar dengan menggunakan bantal. Terkadang bersandar pada sisi kiri tubuhnya, dan terkadang pada sisi  kanannya, demikian lanjutan dari ‘Adi. Kita bisa imajinasikan, atau mengambil contoh bagaimana raja-raja di atas tahtanya, dengan miring beberapa derajat, badannya bertumpu di atas bantal secara bergantian. Cara ini bisa kita lakukan di rumah, di kantor, atau di manapun itu. 

Ada yang terlupakan dewasa ini, bisa dikatakan jarang atau tidak pernah kita lakukan “pada kondisi tertentu”. Lanjut ‘Adi, “Rasulullah bersandar pada sahabat, hal ini dilakukan jika beliau merasa lemah”, alangkah “romantis” dan indahnya ketika melihat sesama sahabat bersandar satu sama lain, ada kedekatan yang tidak ternilai dengan apapun itu. Energi seorang sahabat yang berdekatan akan kembali normal. Dari segi psikologi, kedekatan berupa sandaran atau pelukan yang umumnya perempuan lakukan, akan mengurangi tingkat stres pada diri manusia. Semoga menjadi keterangan yang berkah...

Kontributor : Raharja W