Tausiyah K.H. Imam Haromain: Pandangan yang Mengingkari Mukjizat Kenabian
Bismillah. Alhamdulillah.
Di samping sebagai wisata religi dan training
kedirian Rasulullah, ternyata peristiwa isra’ mi’raj juga menjadi
batu ujian tersendiri bagi umatnya. Terbukti, tak sedikit dari
sahabat yang patuh terhadap Nabi SAW tiba-tiba saja berpaling
kembali. Bagi logika zaman itu, peristiwa itu masih menyisakan
berjuta pertanyaan.
Sebab sebagaimana mungkin seseorang bisa menempuh
perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, dan bahkan melesat
kelangit tertinggi hanya dalam waktu yang cuma sekejap? Baihaqi dalam
Dala’ilun Nubuwwah menyebutkan; ketika
Rasulullah kembali tempat tidurnya masih hangat, dan temayan air yang
jatuh ketika beliau di bawa pergi jibril sama sekali belum tumpah.
Anehnya, kini pertanyaan-pertnyaan semodel itu
masih saja berulang. Betapa mungkin seseoraang melesat melebihi
kecepatan cahaya – yang merupakan kecepatan tertinggi dalam
kontinum empat dimensi? Bukankah tubuh Rasul yang bersifat materi
akan terbakar ketika bergesekan dengan lapis-lapis atmosfir? Bagamana
pula mungkin manusia sanggup melepas keterikatannya dengan hukum
gravitasi?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tentu
menyiratkan bahwa kita memang tak demikian jeli untuk membedakan
antara yang mustahil bagi akal dan yang belum di mengerti oleh akal,
antara yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional. Ada
ungkapan menarik dari Kierkegaard – seorang tokoh eksistensialisme;
bahwa seseorang harus percaya bukan karena dia tahu, tetapi karena
karena dia tidak tahu.
Barangkali yang perlu di koreksi ulang, adalah
upaya kita yang menggambarkan peristiwa isra’ mi’raj dengan
sangat gegabah. Betapa selipnya kita, ketika memaknai peristiwa isra’
dengan menggambarkan sebagai perjalanan pesawat terbang dari Makkah
menuju Palestina? Betapa dekilnya kita, ketika melukiskan mi’raj
dengan perjalanan penerbangan antariksa yang menjelajah ruang
angkasa?
Sebab peristiwa isra’ mi’raj, sesungguhnya
merupakan perjalanan yang keluar dari dimensi ruang dan waktu. Oleh
karenanya, ia tak terikat lagi dengan hukum ruang dan waktu. Maka tak
elok, jika kita mempersepsinya dengan logika yang masih diselubungi
keniscayaan ruang dan waktu. Sebab ketika manusia masih di selimuti
batasan semesta, maka dirinya akan senantiasa pula memikirkan soal
waktu dan jarak.
Maka betapa mungkin kita yang berada dalam ruang
dan waktu yang serba terbatas, berupaya menteorikan sesuatu
peristiwa yang serba tak terbatas? Bukankah Rasulallah bersama Jibril
dengan kendaraan buraq, semua itu telah berada dalam “ruang
ilahiah” yang serba tak terhingga? Maka adakah sesuatu yang tak
mungkin, jika allah SWT yang memiliki kekuasaan yang tak terhingga
mencipta sebutir peristiwa semacam isra’ mi’raj?
Masjidil Aqsho - Isra' dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho |
Pendapat-pendapat yang “menihilkan” peristiwa
isra’ mi’aj, menurut analisis Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buty
dalam Fiqhus Sirah an-Nabawiyyah, dilatar belakangi oleh
pandangan yang mengingkari mukjizat kenabian. Ketidak percayaan
terhadap keghaiban inilah, yang membuat mereka senatiasa mengurai
fenomena apapun dengan takaran logika rasional yang serba terbatas.
Padahal kalau kita mau membuka lebar-lebar pintu
hati, sesungguhnya peristiwa isra’ mi’raj itu merupakan pertanda
dari qudrah dan iradhah, serta ilmu Allah yang meliputi segala
sesuatu yang terbatas maupun tak terbatas – tanpa dipengaruhi oleh
dimensi ruang dan waktu. Maka hanya dengan imanlah kita dapat
mempercayai, bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Kiranya,
demikianlah rencanaNya demi menguji keimanan para hambaNya (QS.
Al-Isra:60).
Dalam Sirahnya Ibnu Ishaq menuturkan, Abu Said
meriwayatkan bahwa dia telah mendengar Rasulallah SAW bersabda:
“Setelah aku melakukan apa yang harus kulakukan di Yerusalem,
akupun dibawa ke sebuah tangga (mi’raj). Dan aku tidak pernah
melihat sesuatu yang lebih indah daripadanya. Itulah yang menjadi
pandangan orang-orang mati pada hari kebangkitan. Sahabatku Jibril,
membuatku memanjat sampai kami mencapai salah satu pintu terdepan
dari gerbang langit. Disana terdapat 1.200 malaikat yangg bertugas
sebagai pengawal.”
Maka bersihkanlah hati senantiasa, agar daat
meneladani sikap dan keimanan Abu Bakar as-Shiddiq: “Wahai
Rasulallah, jikapun peristiwa tersebut lebih dari itu, maka akupun
akan tetap meyakininya.” Dalam sebuah Hadits Qudsi dinyatakan:
“Bumi dan langit, matahari, dan bulan tidak sanggup menggapaiKu.
Namun hati hambaKu yang beriman, akan sanggup menjangkauKu.”
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan
hambaNya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil
Aqhsa, yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami sesungguhnya Dia
adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS.17:1).
Wallahu a’lam bish-shawab!
*) Tausiyah Islam ini ditulis oleh K.H. Imam Haromain, M.Si., Pengasuh Asrama Sunan Ampel Putra Pon. Pes. Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang.
Gambar diambil dari flickr.com.